~ James D.D. Massie ~
Dalam situasi saat ini, strategi yang sebelumnya sudah disusun sesuai dengan rencana jangka panjang akhirnya berubah dengan munculnya tindakan dadakan perusahaan untuk mengantisipasi perubahan yang sangat cepat.
Perusahaan yang tidak siap dengan keadaan ini, keinginan meraih keunggulan kompetitif masa depan sering terlupakan dan lebih diutamakan adalah bagaimana mengantisipasi gejolak ketidakpastian agar mampu bertahan hidup. Yang dipentingkan perusahaan adalah menyelamatkan diri dari turbulensi ekonomi.
Saat ini sebenarnya merupakan masa transisi dan juga merupakan bagian dari learning process bagi perusahaan yang akan memasuki era millenium ketiga. Kesempatan bagi perusahaan untuk meninjau kembali apakah praktek manajemen yang selama ini dilakukan masih relevan dengan dinamika perubahan atau tidak. Menjadi trend bagi praktik manajemen modem dewasa ini adalah organisasi yang ramping (lean), flat dan fleksibel (Walker, 1993).
Praktek manajemen ini dilakukan agar organisasi mampu beradaptasi dan fleksibel terhadap perubahan. Akan tetapi, menghadapi gejolak ekonomi moneter seperti ini, tidak sedikit perusahaan yang tanpa perhitungan matang langsung melakukan reformasi secara drastis melalui penciutan berbagai bagian organisasi dan pemutusan hubungan kerja. Tidak sedikit sumber daya yang sudah terlatih, berpengalaman, profesional dan memiliki competitive advantage akhirnya menjadi korban akibat pengambilan keputusan yang tergesa-gesa. Dalam jangka pendek perusahaan boleh bernapas lega dengan tindakan ini karena dapat menekan biaya operasi menjadi lebih efisien. Akan tetapi dalam jangka menengah dan panjang keputusan ini perlu dipertanyakan karena perusahaan harus memikirkan kembali besarnya nilai investasi yang harus dikeluarkan, terutama untuk menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki sustainable competitive advantage.
Artikel ini menguraikan tentang keputusan perusahaan mengantisipasi perubahan melalui proses reengineering dan konsep pengembangan manajemen sumber daya manusia.
Organisasi dan Sumber Daya Manusia yang Memiliki Sustainable Competitive Advantage
Menghadapi masa transisi memasuki era millenium ketiga, perusahaan dituntut memiliki core competence yang mampu menghasilkan sustainable competitive advantage. Salah satu faktor kunci menghasilkan sustainable competitive advantage adalah tersedianya intellectual human capital (Bennis, 1997) kompetitif yang memiliki sifat kreatif, inovatif, fleksibel dan entrepreneurship l Walker, 1993). Barney (1991) mengemukakan tiga bentuk core competence yang menghasilkan sustainable competitive advantage, yakni:
- Sumber daya fisik (physical capital)
- Sumber daya manusia (human capital)
- Sumber daya organisasi {organizational capital).
Dari ketiga jenis sumber daya ini, sumber daya yang sangat memiliki competitive advantage tinggi adalah sumber daya yang bersifat invisible assets (Itama, 1987) atau core competence (Prahalad, 1990) yang berasal dari sumber daya manusia (misalnya, bentuk pelatihan, pengalaman, dan hubungan antar anggota organisasi) dan keterampilan organisasional (misalnya, struktur pelaporan normal, kontrol, dan hubungan informasi). Keunggulan ini melekat secara organisasional dan dari segi sosial bersifat kompleks dan unik sehingga sulit bagi pesaing untuk meniru (Wortzel, 1997).
Peter Drucker mengemukakan bahwa menghadapi lingkungan bisnis dan teknologi yang mengalami perubahan demikian cepat, satu-satunya yang diandalkan memiliki sustainable competitive advantage adalah sumber daya manusia (Spencer, 1995).
Sayang sekali, hambatan yang dirasakan selama ini adalah bentuk dan struktur organisasi tidak mendukung terciptanya human capital yang memiliki sustainable competitive advantage. Pola pikir tradisional (old mind set) yang selama ini dianut adalah control, order and predict (Bennis, 1997) dan ini tercermin pada bentuk dan struktur organisasi konvensional yang mengarah pada bureaucratic atau hierarchical organizations.
Bureaucratic organizations bersifat kaku (Morgan, 1997) terhadap perubahan dan cenderung memperlakukan sumber daya manusia sebagai faktor produksi yang sama dengan faktor lain layaknya seperti mesin. Morgan (1997) mengemukakan, organisasi birokrasi cenderung mematikan kreativitas dan inovasi serta entrepreneurship sumber daya manusia karena segala aktivitas dan tindakan selalu harus melalui prosedur, kontrol dan perintah atasan.
Oleh sebab itu, menghadapi dinamika perubahan yang serba tidak pasti, diperlukan reformasi total terhadap struktur dan bentuk organisasi, sehingga fleksibel terhadap perubahan dan mampu mengakomodasi sifat intellectual human capital yang di inginkan. Reengineering organisasi dilakukan untuk mengakomodasi tuntutan ini. Akan tetapi, tidak sedikit perusahaan mengalami kegagalan justru setelah melakukan reengineering. Penyebabnya adalah reengineering kurang mempertimbangkan aspek manajemen sumber daya manusia.
- Sumber daya fisik (physical capital)
- Sumber daya manusia (human capital)
- Sumber daya organisasi {organizational capital).
Dari ketiga jenis sumber daya ini, sumber daya yang sangat memiliki competitive advantage tinggi adalah sumber daya yang bersifat invisible assets (Itama, 1987) atau core competence (Prahalad, 1990) yang berasal dari sumber daya manusia (misalnya, bentuk pelatihan, pengalaman, dan hubungan antar anggota organisasi) dan keterampilan organisasional (misalnya, struktur pelaporan normal, kontrol, dan hubungan informasi). Keunggulan ini melekat secara organisasional dan dari segi sosial bersifat kompleks dan unik sehingga sulit bagi pesaing untuk meniru (Wortzel, 1997).
Peter Drucker mengemukakan bahwa menghadapi lingkungan bisnis dan teknologi yang mengalami perubahan demikian cepat, satu-satunya yang diandalkan memiliki sustainable competitive advantage adalah sumber daya manusia (Spencer, 1995).
Sayang sekali, hambatan yang dirasakan selama ini adalah bentuk dan struktur organisasi tidak mendukung terciptanya human capital yang memiliki sustainable competitive advantage. Pola pikir tradisional (old mind set) yang selama ini dianut adalah control, order and predict (Bennis, 1997) dan ini tercermin pada bentuk dan struktur organisasi konvensional yang mengarah pada bureaucratic atau hierarchical organizations.
Bureaucratic organizations bersifat kaku (Morgan, 1997) terhadap perubahan dan cenderung memperlakukan sumber daya manusia sebagai faktor produksi yang sama dengan faktor lain layaknya seperti mesin. Morgan (1997) mengemukakan, organisasi birokrasi cenderung mematikan kreativitas dan inovasi serta entrepreneurship sumber daya manusia karena segala aktivitas dan tindakan selalu harus melalui prosedur, kontrol dan perintah atasan.
Oleh sebab itu, menghadapi dinamika perubahan yang serba tidak pasti, diperlukan reformasi total terhadap struktur dan bentuk organisasi, sehingga fleksibel terhadap perubahan dan mampu mengakomodasi sifat intellectual human capital yang di inginkan. Reengineering organisasi dilakukan untuk mengakomodasi tuntutan ini. Akan tetapi, tidak sedikit perusahaan mengalami kegagalan justru setelah melakukan reengineering. Penyebabnya adalah reengineering kurang mempertimbangkan aspek manajemen sumber daya manusia.
Reengineering Organisasi Upaya Mengantisipasi Perubahan
Hammer dan Champy (1993) mengemukakan, reengineering adalah suatu pemikiran kembali hal-hal fundamental yang bersifat periodik dan pembentukan kembali proses bisnis secara radikal untuk mencapai perbaikan ukuran-ukuran kinerja secara dramatis, seperti biaya, kualitas, pelayanan, dan kecepatan.
Dalam situasi yang tidak menguntungkan saat ini, sebenarnya banyak perusahaan yang telah melakukan reengineering walaupun masih bersifat parsial, di mana dalam hal ini mereka lebih menekankan pada penciutan bagian-bagian organisasi yang tidak menguntungkan atau pemutusan hubungan kerja. Hal-hal yang berkaitan dengan keputusan perubahan tersebut, misalnya, konsep pengembangan sumber daya manusia yang sesuai dengan perubahan cenderung diabaikan. Adalah penting untuk mengambil pelajaran bagi perusahaan yang telah melakukan reengineering.
Kegagalan perusahaan setelah melakukan reengineering nampaknya berhubungan dengan faktor sumber daya manusia yang tidak sepenuhnya dipahami dan dipertimbangkan (Development Dimension International and Scherer & Associates, 1994).
Menghadapi dinamika perubahan yang demikian cepat, timbul pertanyaan. Tindakan manakah yang sebaiknya dilakukan perusahaan melakukan perubahan organisasi secara evolusi melalui continuous improvement, ataukah revolusi melalui reengineering? Jawabannya tergantung pada kemampuan dan kejelian pimpinan perusahaan memilah-milah dan menggabungkan kedua ide yang bertentangan tersebut, sehingga pada gilirannya akan manghasilkan suatu tindakan yang mampu beradaptasi dengan tuntutan dinamika perubahan.
Hilb (1996) mengemukakan beberapa terminologi yang dipakai dalam perubahan organisasi, seperti organisasi ramping (lean) atau gemuk (fat) dan perubahan organisasi yang menimbulkan rasa senang (happy) atau kejam (mean). Organisasi ramping dan gemuk menggambarkan besarnya pemanfaatan sumber daya, sedangkan organisasi yang menimbulkan rasa senang dan kejam menggambarkan persepsi budaya organisasi.
Pada lingkungan yang relatif stabil di mana perekonomian masih dalam kondisi undersupply, dan persaingan masih relatif sedikit, organisasi gemuk yang bergelimpang dengan kesenangan mungkin masih dapat dipertahankan. Akan tetapi, memasuki masa-masa sulit yang ditandai dengan lingkungan yang tidak stabil yang penuh dengan ketidakpastian, perekonomian dalam kondisi oversupply dan overcapacity (Hammer, 1997), persaingan yang semakin sengit, dan terakhir munculnya gejolak ekonomi dan moneter, organisasi berupaya melakukan perubahan secara drastis (reengineering). Organisasi diubah menjadi ramping (lean) tapi memberi kesan yang sungguh kejam (mean) bagi pemanfaatan sumber daya manusia.
Sebenarnya, tindakan ini menimbulkan efisiensi yang berkaitan dengan value analysis dan penciutan berbagai bagian organisasi (Hilb, 1996). Akan tetapi tindakan ini tidak mencerminkan budaya manusia dalam organisasi. Pemutusan hubungan kerja dilakukan, tapi meninggalkan sebagian karyawan tetap bekerja layaknya mesin. Di satu pihak, produktivitas meningkat tapi di lain pihak, karyawan merasa tertekan karena dibebani tanggung jawab pekerjaan lebih berat, dtambah dengan kondisi kerja yang tidak mendukung. Akibatnya, timbul ketidakpuasan karyawan.
Oleh sebab itu, dalam melakukan reengineering, aspek manajemen sumber daya manusia hendaknya dipertimbangkan, yakni, bagaimana menciptakan organisasi yang ramping (lean) dan menimbulkan rasa senang (happy) bagi karyawan. Reengineering organisasi yang mengarah ke lean dan happy juga berupaya mengakomodasi bukan hanya kepentingan shareholders semata, tapi juga kepentingan stakeholders lain (di luar karyawan). Dengan kata lain, upaya reengineering bukan hanya menguntungkan pemilik perusahaan, tetapi juga berupaya menguntungkan semua pihak yang berkepentingan, seperti supplier, distributor, dan masyarakat customer umumnya.
Dalam situasi yang tidak menguntungkan saat ini, sebenarnya banyak perusahaan yang telah melakukan reengineering walaupun masih bersifat parsial, di mana dalam hal ini mereka lebih menekankan pada penciutan bagian-bagian organisasi yang tidak menguntungkan atau pemutusan hubungan kerja. Hal-hal yang berkaitan dengan keputusan perubahan tersebut, misalnya, konsep pengembangan sumber daya manusia yang sesuai dengan perubahan cenderung diabaikan. Adalah penting untuk mengambil pelajaran bagi perusahaan yang telah melakukan reengineering.
Kegagalan perusahaan setelah melakukan reengineering nampaknya berhubungan dengan faktor sumber daya manusia yang tidak sepenuhnya dipahami dan dipertimbangkan (Development Dimension International and Scherer & Associates, 1994).
Menghadapi dinamika perubahan yang demikian cepat, timbul pertanyaan. Tindakan manakah yang sebaiknya dilakukan perusahaan melakukan perubahan organisasi secara evolusi melalui continuous improvement, ataukah revolusi melalui reengineering? Jawabannya tergantung pada kemampuan dan kejelian pimpinan perusahaan memilah-milah dan menggabungkan kedua ide yang bertentangan tersebut, sehingga pada gilirannya akan manghasilkan suatu tindakan yang mampu beradaptasi dengan tuntutan dinamika perubahan.
Hilb (1996) mengemukakan beberapa terminologi yang dipakai dalam perubahan organisasi, seperti organisasi ramping (lean) atau gemuk (fat) dan perubahan organisasi yang menimbulkan rasa senang (happy) atau kejam (mean). Organisasi ramping dan gemuk menggambarkan besarnya pemanfaatan sumber daya, sedangkan organisasi yang menimbulkan rasa senang dan kejam menggambarkan persepsi budaya organisasi.
Pada lingkungan yang relatif stabil di mana perekonomian masih dalam kondisi undersupply, dan persaingan masih relatif sedikit, organisasi gemuk yang bergelimpang dengan kesenangan mungkin masih dapat dipertahankan. Akan tetapi, memasuki masa-masa sulit yang ditandai dengan lingkungan yang tidak stabil yang penuh dengan ketidakpastian, perekonomian dalam kondisi oversupply dan overcapacity (Hammer, 1997), persaingan yang semakin sengit, dan terakhir munculnya gejolak ekonomi dan moneter, organisasi berupaya melakukan perubahan secara drastis (reengineering). Organisasi diubah menjadi ramping (lean) tapi memberi kesan yang sungguh kejam (mean) bagi pemanfaatan sumber daya manusia.
Sebenarnya, tindakan ini menimbulkan efisiensi yang berkaitan dengan value analysis dan penciutan berbagai bagian organisasi (Hilb, 1996). Akan tetapi tindakan ini tidak mencerminkan budaya manusia dalam organisasi. Pemutusan hubungan kerja dilakukan, tapi meninggalkan sebagian karyawan tetap bekerja layaknya mesin. Di satu pihak, produktivitas meningkat tapi di lain pihak, karyawan merasa tertekan karena dibebani tanggung jawab pekerjaan lebih berat, dtambah dengan kondisi kerja yang tidak mendukung. Akibatnya, timbul ketidakpuasan karyawan.
Oleh sebab itu, dalam melakukan reengineering, aspek manajemen sumber daya manusia hendaknya dipertimbangkan, yakni, bagaimana menciptakan organisasi yang ramping (lean) dan menimbulkan rasa senang (happy) bagi karyawan. Reengineering organisasi yang mengarah ke lean dan happy juga berupaya mengakomodasi bukan hanya kepentingan shareholders semata, tapi juga kepentingan stakeholders lain (di luar karyawan). Dengan kata lain, upaya reengineering bukan hanya menguntungkan pemilik perusahaan, tetapi juga berupaya menguntungkan semua pihak yang berkepentingan, seperti supplier, distributor, dan masyarakat customer umumnya.
Beberapa Dimensi Perubahan yang Mempengaruhi Manajemen Sumber Daya Manusia
Pengaruh perubahan melalui reengineering pada organisasi agak berbeda dengan perubahan yang diperkenalkan sebelumnya oleh konsep manajemen lainnya, seperti TQM, terutama jika dilihat dari hasil yang diharapkan. Menurut Spencer (1995), penerapan TQM dirasakan menghasilkan perbaikan yang terlalu sederhana, tapi hasilnya sedikit dan agak lambat.
Menghadapi gejolak dinamika yang tidak pasti, perusahaan perlu melakukan perbaikan proses yang mampu membuat organisasi bertahan hidup, kompetitif dan fleksibel terhadap perubahan.
Harapan itu berkaitan dengan sumber daya manusia dan struktur organisasi yang diusulkan oleh Hammer (1993) memberikan konteks yang mempertimbangkan kontribusi manajemen sumber daya manusia terhadap dimensi perubahan dalam proses reengineering seperti tergambar pada Tabel 1.
Dimensi tersebut berupaya menghilangkan praktik-praktik manajemen klasik yang statis dan kaku terhadap dinamika perubahan. Perubahan ini diharapkan mampu mengakomodasi kepentingan semua pihak, baik shareholders (pemilik perusahaan) maupun stakeholders yang di dalamnya termasuk kepentingan pengembangan sumber daya manusia.
Menghadapi gejolak dinamika yang tidak pasti, perusahaan perlu melakukan perbaikan proses yang mampu membuat organisasi bertahan hidup, kompetitif dan fleksibel terhadap perubahan.
Harapan itu berkaitan dengan sumber daya manusia dan struktur organisasi yang diusulkan oleh Hammer (1993) memberikan konteks yang mempertimbangkan kontribusi manajemen sumber daya manusia terhadap dimensi perubahan dalam proses reengineering seperti tergambar pada Tabel 1.
Tabel 1. Dimensi Perubahan yang mempengaruhi manajemen Sumber Daya Manusia
Dimensi tersebut berupaya menghilangkan praktik-praktik manajemen klasik yang statis dan kaku terhadap dinamika perubahan. Perubahan ini diharapkan mampu mengakomodasi kepentingan semua pihak, baik shareholders (pemilik perusahaan) maupun stakeholders yang di dalamnya termasuk kepentingan pengembangan sumber daya manusia.
Kontribusi Manajemen Sumber Daya Manusia Terhadap Proses Reengineering
Prinsip kepemimpinan sangat menentukan berhasil tidaknya organisasi melakukan reengineering. Menarik untuk mempertimbangkan sebelas paradoks kepemimpinan dari perusahaan LEGO Company dalam mengantisipasi perubahan seperti diuraikan Poulsen (Hilb, 1996) sebagai berikut:
Hilb (1996) mengemukakan empat tahap yang harus dilalui perusahaan untuk melakukan reengineering:
Tahap pertama: Mendiagnosis keadaan sekarang
Pada tahap ini perlu mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan kepemimpinan saat ini, mengidentifikasi strategi perusahaan, proses, struktur dan budaya organisasi serta manajemen sumber daya manusia terutama menyangkut seleksi, penilaian, reward dan pengembangan sumber daya manusia. Jelasnya, melalui tahap ini pengembangan sumber daya manusia harus menyesuaikan dengan misi dan strategi dan bila perubahan struktural dilakukan, perubahan tersebut harus kompatibel dengan pengembangan sumber daya manusia.
Tahap kedua: Re-design keadaan masa depan
Visi holistik perusahaan merupakan dasar yang menjadi target bagi pengembangan manajemen sumber daya manusia dan kepemimpinan, yakni:
Tahap ketiga: Identifikasi berbagai hambatan
Sasaran keadaan masa depan hanya dapat terealisasi jika hambatan-hambatan potensial sewaktu memperkenalkan konsep masa depan dapat diidentifikasi. Di satu pihak, hambatan-hambatan dalam perusahaan yang menimbulkan masalah individu, kelompok atau organisasi secara psikologis perlu di identifikasi. Di lain pihak, unsur-unsur lain perlu dipertimbangkan dan beberapa hal perlu dipertanyakan seperti:
Tahap keempat: Me-roll out berbagai tindakan
Untuk mengatasi berbagai hambatan serta merealisasikan konsep masa depan, berbagai sasaran tindakan harus dilaksanakan. Di sini manajemen sumber daya manusia harus mengambil tindakan untuk membantu meminimumkan hambatan terhadap perubahan.
Hilb (1996) mengemukakan berbagai sasaran tindakan yang sangat penting dilakukan bagi manajemen sumber daya manusia:
Sasaran seleksi
Sebelum melakukan seleksi karyawan, jabatan atau posisi yang lowong tersebut harus dipertimbangkan lebih dulu. Bila memungkinkan, lowongan yang ada perlu ditinjau apakah kemungkinan lowongan tersebut masih dapat dipertahankan atau dieliminasi seluruhnya atau sebagian. Masuknya teknologi informasi dalam aktivitas organisasi memungkinkan pekerjaan manual yang dilakukan sebelumnya oleh manusia akan dapat digantikan komputer.
Spencer (1995) mengajukan tiga alternatif utama yang dapat dipertimbangkan perusahaan sebelum melakukan seleksi. Pertama, kemungkinan mengeliminasi berbagai aktivitas atau pelayanan yang memiliki nilai rendah. Kedua, kemungkinan melakukan outsourcing berbagai aktivitas dan pelayanan kepada pihak lain bila ternyata upaya itu lebih murah atau menghasilkan kualitas yang lebih tinggi. Ketiga, kemungkinan melakukan rekayasa aktivitas yang secara strategis sangat penting berkaitan dengan outsourcing.
Selain itu, pertimbangan lainnya yang perlu dilakukan, menurut Hilb (1996) seperti, kemungkinan meleburkan jabatan lowong tersebut pada jabatan lain dan menerapkan otomatisasi sebanyak mungkin terhadap tanggung jawab pekerjaan yang bersifat rutin.
Sasaran appraisal
Pada saat karyawan menampilkan proses kerja, perusahaan dapat mengukur kinerjanya dan membayar karyawannya berdasarkan nilai yang mereka ciptakan kepada pelanggan, karyawan, shareholders serta lingkungan (Hammer, 1993). Titik berat ukuran kinerja harus berdasarkan pada tujuan (hasil) serta nilai tambah (added-value) yang diciptakan kepada stakeholders. Hilb (1996) mengusulkan, untuk mengukur kinerja agar lebih objektif, program umpan balik 360 derajat dapat digunakan, dalam hal ini penilaiannya dilakukan baik oleh atasan maupun bawahan. Misalnya, seorang manajer, penilaiannya dapat berasal dari berbagai sumber, yakni dari senior manager, staf, anggota tim, pelanggan internal dan bila perlu pelanggan eksternal.
Sasaran reward
Bagi perusahaan yang melakukan reengineering, penghargaan (reward) yang sangat substansial terhadap kinerja karyawan berprestasi adalah berbentuk bonus dan bukan hanya berupa pujian (Hammer, 1999). Beberapa tawaran program pemberian kompensasi dapat didasarkan pada pertimbangan tiga dimensi utama, yakni performance level, time horizon, dan added-value dimension (Hilb, 1996). Lihat gambar 1.
Semakin tinggi level tanggung jawab, semakin tinggi bagian variabel dan semakin tinggi bagian total kompensasi jangka panjang yang diterima. Arah perusahaan melakukan reengineering adalah mengalokasikan porsi utama bonusnya pada semua process owners dan associates menurut kepuasan customers, shareholders, process associates dan masyarakat (Hilb, 1996). Dengan demikian karyawan dibayar menurut kinerja yang ditampilkan dan dipromosikan menurut aktivitas yang dilakukan.
Sasaran pengembangan sumber daya manusia
Organisasi yang mengalami transformasi proses dari organisasi gemuk (fat) menjadi ramping (lean) tentu akan berpengaruh bagi sasaran pengembangan sumber daya manusia. Hammer (1993) mengemukakan beberapa karakteristik yang selalu ditemukan ketika perusahaan melakukan reengineering, seperti:
Beberapa jalur pengembangan dapat dilakukan, misalnya melalui:
- Sanggup membangun hubungan erat dengan staf.. dan menjaga jarak yang sesuai.
- Sanggup memimpin ... dan selalu berdiri di belakang (tut wuri handayani).
- Percaya kepada staf ... dan selalu memperhatikan apa yang sedang terjadi.
- Memiliki sifat toleransi ... dan mengetahui bagaimana memfungsikan sesuatu.
- Tetap mempertahankan tujuan setiap departemen dalam pikiran … dan pada saat yang sama saja juga tetap loyal dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan.
- Melakukan pekerjaan dengan baik sesuai rencana ... dan bersifat fleksibel terhadap jadwal pribadi.
- Bebas mengungkapkan pandangan diri sendiri ... dan bersifat diplomatis.
- Bersifat visioner ... dan keeps one's feet on the grounds.
- Berupaya menang konsensus ... dan mampu mencari berbagai terobosan.
- Bersifat dinamis ... dan reflektif.
- Percaya diri ... dan rendah hati.
Hilb (1996) mengemukakan empat tahap yang harus dilalui perusahaan untuk melakukan reengineering:
Tahap pertama: Mendiagnosis keadaan sekarang
Pada tahap ini perlu mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan kepemimpinan saat ini, mengidentifikasi strategi perusahaan, proses, struktur dan budaya organisasi serta manajemen sumber daya manusia terutama menyangkut seleksi, penilaian, reward dan pengembangan sumber daya manusia. Jelasnya, melalui tahap ini pengembangan sumber daya manusia harus menyesuaikan dengan misi dan strategi dan bila perubahan struktural dilakukan, perubahan tersebut harus kompatibel dengan pengembangan sumber daya manusia.
Tahap kedua: Re-design keadaan masa depan
Visi holistik perusahaan merupakan dasar yang menjadi target bagi pengembangan manajemen sumber daya manusia dan kepemimpinan, yakni:
- Struktur mengikuti proses
- Proses mengikuti budaya
- Budaya mengikuti visi dan
- Visi mengikuti the star team at the top
Tahap ketiga: Identifikasi berbagai hambatan
Sasaran keadaan masa depan hanya dapat terealisasi jika hambatan-hambatan potensial sewaktu memperkenalkan konsep masa depan dapat diidentifikasi. Di satu pihak, hambatan-hambatan dalam perusahaan yang menimbulkan masalah individu, kelompok atau organisasi secara psikologis perlu di identifikasi. Di lain pihak, unsur-unsur lain perlu dipertimbangkan dan beberapa hal perlu dipertanyakan seperti:
- Apakah konsep yang dikembangkan akan efektif?
- Apakah proses tersebut diidentifikasi secara efektif?
- Apakah tersedia sumber daya manusia dan dana yang memadai?
- Apakah waktu yang disediakan realistis?
Tahap keempat: Me-roll out berbagai tindakan
Untuk mengatasi berbagai hambatan serta merealisasikan konsep masa depan, berbagai sasaran tindakan harus dilaksanakan. Di sini manajemen sumber daya manusia harus mengambil tindakan untuk membantu meminimumkan hambatan terhadap perubahan.
Hilb (1996) mengemukakan berbagai sasaran tindakan yang sangat penting dilakukan bagi manajemen sumber daya manusia:
Sasaran seleksi
Sebelum melakukan seleksi karyawan, jabatan atau posisi yang lowong tersebut harus dipertimbangkan lebih dulu. Bila memungkinkan, lowongan yang ada perlu ditinjau apakah kemungkinan lowongan tersebut masih dapat dipertahankan atau dieliminasi seluruhnya atau sebagian. Masuknya teknologi informasi dalam aktivitas organisasi memungkinkan pekerjaan manual yang dilakukan sebelumnya oleh manusia akan dapat digantikan komputer.
Spencer (1995) mengajukan tiga alternatif utama yang dapat dipertimbangkan perusahaan sebelum melakukan seleksi. Pertama, kemungkinan mengeliminasi berbagai aktivitas atau pelayanan yang memiliki nilai rendah. Kedua, kemungkinan melakukan outsourcing berbagai aktivitas dan pelayanan kepada pihak lain bila ternyata upaya itu lebih murah atau menghasilkan kualitas yang lebih tinggi. Ketiga, kemungkinan melakukan rekayasa aktivitas yang secara strategis sangat penting berkaitan dengan outsourcing.
Selain itu, pertimbangan lainnya yang perlu dilakukan, menurut Hilb (1996) seperti, kemungkinan meleburkan jabatan lowong tersebut pada jabatan lain dan menerapkan otomatisasi sebanyak mungkin terhadap tanggung jawab pekerjaan yang bersifat rutin.
Sasaran appraisal
Pada saat karyawan menampilkan proses kerja, perusahaan dapat mengukur kinerjanya dan membayar karyawannya berdasarkan nilai yang mereka ciptakan kepada pelanggan, karyawan, shareholders serta lingkungan (Hammer, 1993). Titik berat ukuran kinerja harus berdasarkan pada tujuan (hasil) serta nilai tambah (added-value) yang diciptakan kepada stakeholders. Hilb (1996) mengusulkan, untuk mengukur kinerja agar lebih objektif, program umpan balik 360 derajat dapat digunakan, dalam hal ini penilaiannya dilakukan baik oleh atasan maupun bawahan. Misalnya, seorang manajer, penilaiannya dapat berasal dari berbagai sumber, yakni dari senior manager, staf, anggota tim, pelanggan internal dan bila perlu pelanggan eksternal.
Sasaran reward
Bagi perusahaan yang melakukan reengineering, penghargaan (reward) yang sangat substansial terhadap kinerja karyawan berprestasi adalah berbentuk bonus dan bukan hanya berupa pujian (Hammer, 1999). Beberapa tawaran program pemberian kompensasi dapat didasarkan pada pertimbangan tiga dimensi utama, yakni performance level, time horizon, dan added-value dimension (Hilb, 1996). Lihat gambar 1.
Gambar 1. Konsep pemberian bonus bagi perusahaan yang melakukan reengineering
Semakin tinggi level tanggung jawab, semakin tinggi bagian variabel dan semakin tinggi bagian total kompensasi jangka panjang yang diterima. Arah perusahaan melakukan reengineering adalah mengalokasikan porsi utama bonusnya pada semua process owners dan associates menurut kepuasan customers, shareholders, process associates dan masyarakat (Hilb, 1996). Dengan demikian karyawan dibayar menurut kinerja yang ditampilkan dan dipromosikan menurut aktivitas yang dilakukan.
Sasaran pengembangan sumber daya manusia
Organisasi yang mengalami transformasi proses dari organisasi gemuk (fat) menjadi ramping (lean) tentu akan berpengaruh bagi sasaran pengembangan sumber daya manusia. Hammer (1993) mengemukakan beberapa karakteristik yang selalu ditemukan ketika perusahaan melakukan reengineering, seperti:
- Beberapa jabatan tertentu dikombinasikan ke dalam tugas multidimensi.
- Perencanaan, pengambilan keputusan dan implementasi dapat dijadikan satu bagian tugas.
- Tahap-tahap dalam proses bisnis ditampilkan secara alamiah.
- Berbagai pemrosesan tidak perlu lagi distandarisasi dan sebagai gantinya perlu membuat multiversi.
- Berbagai pemrosesan diterapkan bilamana pemrosesan tersebut sungguh dipahami.
- Rentang kepercayaan yang luas (broad span of trust) akan menggantikan rentang kendali yang sempit (narrow span of control).
- Perwakilan proses pemberdayaan memberikan suatu single point of contact bagi keseluruhan proses yang dilakukan secara team.
Beberapa jalur pengembangan dapat dilakukan, misalnya melalui:
- Job rotation
- Job enrichment
- Promotion
- Realignment
- Outplacement
- Outsourcing
- Project team activity
Kesimpulan
Menghadapi kondisi ketidakpastian dan dinamika perubahan saat ini, perusahaan perlu berhati-hati mengambil keputusan terhadap proses reengineering organisasi secara parsial. Keputusan melakukan penciutan organisasi yang diikuti dengan pemutusan hubungan kerja tanpa mempertimbangkan pengaruh keputusan tersebut dengan faktor-faktor lain yang berkaitan maka belum tentu hal itu menyelesaikan persoalan.
Oleh sebab itu, keputusan melakukan reengineering perlu mempertimbangkan dengan matang berbagai faktor produksi yang memberikan kontribusi sangat besar dalam menghasilkan core competence.
Core competence yang menghasilkan competitive advantage sangat penting bagi perusahaan dalam menghadapi perubahan.
Tiga jenis core competence yang biasanya dimiliki perusahaan, yakni sumber daya fisik, sumber daya organisasi dan sumber daya manusia. Di antara ketiga jenis core competence ini, sumber daya manusia adalah satu-satunya yang menghasilkan sustainable competitive advantage yang sangat tinggi. Oleh karena itu, jika perusahaan melakukan reengineering organisasi hendaknya mempertimbangkan core competence sumber daya manusia karena sumber daya ini memiliki kelangkaan dan keunikan yang sulit ditiru pesaing.
Hingga saat ini literatur tentang perubahan masih berfokus pada salah satu perubahan dari top-down change, bottom-up change atau kombinasi kedua-duanya. Horizontal change process masih diabaikan. Sebaliknya, pengarang tentang reengineering proses bisnis menitik beratkan pada horizontal change process dan mengabaikan pentingnya perbaikan kinerja top-down dan bottom-up (Hammer, 1993). Akhirnya, literatur manajemen strategi secara tradisional lebih menitikberatkan pada top-down element sedangkan bottom up dan horizontal diabaikan. Akibatnya, sewaktu melakukan perubahan, bukan perbaikan atau kesuksesan yang diperoleh, tapi sebaliknya, kegagalan yang dinikmati. Memang, organisasi menjadi ramping (lean), tapi perubahan ini menimbulkan kesan yang sungguh kejam (mean) bagi karyawan.
Tanggung jawab pekerjaan semakin berat dan tidak diikuti dengan meningkatnya produktivitas, tapi di lain pihak, muncul ketidakpuasan karyawan. Tindakan perubahan seperti ini cenderung mengabaikan dimensi pengembangan manajemen sumber daya manusia.
Oleh sebab itu, untuk melakukan perubahan, organisasi perlu mempertimbangkan tiga kekuatan, yakni:
Sasaran pengembangan manajemen sumber daya manusia dalam reengineering diarahkan untuk mendukung setiap perubahan yang mungkin dapat terjadi. Dalam hal ini, pengembangan yang mendukung gerakan yang berasal dari aktivitas organisasi yang biasanya terikat secara fungsional, ke aktivitas organisasi yang mendukung pendekatan manajemen proses (process management approach).
Oleh sebab itu, keputusan melakukan reengineering perlu mempertimbangkan dengan matang berbagai faktor produksi yang memberikan kontribusi sangat besar dalam menghasilkan core competence.
Core competence yang menghasilkan competitive advantage sangat penting bagi perusahaan dalam menghadapi perubahan.
Tiga jenis core competence yang biasanya dimiliki perusahaan, yakni sumber daya fisik, sumber daya organisasi dan sumber daya manusia. Di antara ketiga jenis core competence ini, sumber daya manusia adalah satu-satunya yang menghasilkan sustainable competitive advantage yang sangat tinggi. Oleh karena itu, jika perusahaan melakukan reengineering organisasi hendaknya mempertimbangkan core competence sumber daya manusia karena sumber daya ini memiliki kelangkaan dan keunikan yang sulit ditiru pesaing.
Hingga saat ini literatur tentang perubahan masih berfokus pada salah satu perubahan dari top-down change, bottom-up change atau kombinasi kedua-duanya. Horizontal change process masih diabaikan. Sebaliknya, pengarang tentang reengineering proses bisnis menitik beratkan pada horizontal change process dan mengabaikan pentingnya perbaikan kinerja top-down dan bottom-up (Hammer, 1993). Akhirnya, literatur manajemen strategi secara tradisional lebih menitikberatkan pada top-down element sedangkan bottom up dan horizontal diabaikan. Akibatnya, sewaktu melakukan perubahan, bukan perbaikan atau kesuksesan yang diperoleh, tapi sebaliknya, kegagalan yang dinikmati. Memang, organisasi menjadi ramping (lean), tapi perubahan ini menimbulkan kesan yang sungguh kejam (mean) bagi karyawan.
Tanggung jawab pekerjaan semakin berat dan tidak diikuti dengan meningkatnya produktivitas, tapi di lain pihak, muncul ketidakpuasan karyawan. Tindakan perubahan seperti ini cenderung mengabaikan dimensi pengembangan manajemen sumber daya manusia.
Oleh sebab itu, untuk melakukan perubahan, organisasi perlu mempertimbangkan tiga kekuatan, yakni:
- Perubahan top-down,
- Perubahan proses secara horisontal, dan
- Perubahan kinerja bottom-up.
Sasaran pengembangan manajemen sumber daya manusia dalam reengineering diarahkan untuk mendukung setiap perubahan yang mungkin dapat terjadi. Dalam hal ini, pengembangan yang mendukung gerakan yang berasal dari aktivitas organisasi yang biasanya terikat secara fungsional, ke aktivitas organisasi yang mendukung pendekatan manajemen proses (process management approach).
Referensi
- Barney, J. (1991). "Firm Resource and Sustained Competitive Advantage", Journal of Management, 17 (1). 99-120. Bannis, W. (1997). "Becoming a Leader of Leaders" in R. Gibson (ed). Rethinking the Future: Rethinking Business, Principles, Competitions, Control & Complexity, Leadership, Markets and the World.London: Nicolas Brealey Publishing.
- Hammer, M. (1997). "Beyond the End of Management," in R. Gibson (ed). Rethinking the Future: Rethinking Business. Principles. Competitions, Control & Complexity, Leadership, Markets and the World, London: Nicolas Brealy Publishing.
- Hammer, Mand Champy (1993). Reengineering the Corporation, New York: Harper Collins.
- Hilb, H. (1996), "BPR: A Human Resources Management Perspectives". In C. Armstead and P. Rowland (eds), Managing Business Process:BPR and Byond, London: John Wiley & Sons, Inc.
- Itami, H. (1987). Mobilizing Invisible Assets, Cambridge, MA: Harvard University Press.
- Morgan, G. (1997), Images of Organization,London: SAGE Publications, Inc.
- Prahalad, C.K and G. Hamel (1990), "The Core Competence of the Corporation." Harvard Business Review, 70-91
- Spencer, L.M. (1995). Reengineering Human Resources,New York: John Wiley & Sons, Inc.
- Walker, J. (1993), "Managing Human Resources in Flat, Lean and Flexible Organization: Trend for the 1990's." Human Resources Planning: 11 (2): 125-132
- Wortzel, H.Vand L.H. Worzel (1997). Strategic Management in a Global Economy, New York: John Wiley & Sons Inc.
0 komentar :
Posting Komentar